Aku paham benar bahwa manusia yang sekarang sedang menapakkan kakinya
di bumi, termasuk kita, diciptakan berpasangan. Aku, kamu,
mereka, masing-masing memiliki teman menua bersama, tak hanya untuk
memenuhi bumi demi meneruskan keturunan, namun juga sebagai kawan
berbagi cerita dan jadi rekan untuk tumbuh dewasa.
Kini, memang aku dan kamu sedang berusaha menjalin kisah bersama. Namun, sepertinya cerita kita memang tidak dipertemukan untuk mengukir masa depan. Tidak ada yang salah di sini, hanya saja mungkin kita berdua memang tak tertakdirkan. Perjumpaan sejenak yang kita alami memang sudah digariskan.
Kini, memang aku dan kamu sedang berusaha menjalin kisah bersama. Namun, sepertinya cerita kita memang tidak dipertemukan untuk mengukir masa depan. Tidak ada yang salah di sini, hanya saja mungkin kita berdua memang tak tertakdirkan. Perjumpaan sejenak yang kita alami memang sudah digariskan.
Sesungguhnya terlampau banyak pertengkaran yang telah kita lewati. Kini kusadari kita hanya sedang berusaha saling menyakiti.
Tak bisa dipungkiri, pertengkaran merupakan salah satu senyawa dalam
hubungan. Namun, di dalam hubungan kita, beda porsinya. Pertengkaran
merupakan hidangan utama. Ia selalu tersedia untuk kita lahap dari pagi
hingga senja. Membuat hubungan yang kita jalani tak ubahnya sebuah
neraka. Kita bukan lagi kekasih yang saling mendampingi dan menopang,
kita berubah menjadi lawan yang siap menerkam dan menjatuhkan.
Memang di setiap pertengkaran yang kita lakoni, selalu ada nilai yang
bisa dipetik dan diresapi. Saling marah, melempar serapah, membentukku
menjadi pribadi yang pantang menyerah, begitu pula kamu yang menjadi
sosok yang lebih sabar. Aku tak gampang menyerah, berusaha sekuat daya
supaya pendapatku bisa mendobrak paksa telingamu. Begitu pula kamu
yang tetap bersabar dan bersikukuh mempertahankan pendapat sendiri.
Tidakkah ini merupakan sebuah kompetisi? Iya, kompetisi untuk menghujam
luka yang paling banyak jumlahnya.
Kusadari, ini bukan merupakan jenis pertengkaran yang menenangkan.
Tak ada dekap dan kecup setelah perdebatan ini selesai. Masalah ada
untuk dibiarkan terlantar, tanpa adanya penyelesaian. Aku dan kamu
saling menyimpan marah, menimbunnya, dan membiarkannya menjadi peledak
yang bisa meletus sewaktu-waktu. Ini bukan hubungan yang sehat, kurasa.
Kita makin berjeda dan membeku. Karena begitu bernafsunya kita untuk
saling mencabik dan menyakiti berkali-kali.
Entah sudah berap lama kita bertahan demi bersama. Aku dan kamu
saling mengisi hari. Ah, tapi kurasa kita tak benar-benar saling
mengisi. Kita hanya saling bersama karena takut ada rasa sepi yang
menyelinap ketika sedang sendiri. Aku enggan makan sendirian dan memilih
mengajakmu untuk menemani. Begitu pula kamu, yang mengajakku turut
pergi karena enggan menjelajah kota seorang diri. Kita bersama hanya
karena kebutuhan, bukan karena keinginan.
Semakin lama waktu berdua kita lewati, makin aku tak mengenali diri sendiri. Tidakkah perasaan asing macam ini juga kau hadapi?
Kini, semakin kusadari, aku tak mengenali diriku lagi. Aku jauh
berbeda dari sosokku yang terdahulu. Entah tenggelam kemana sosok
periang dan terbuka yang dulu selalu melekatiku. Sekarang, aku lebih
banyak diam dan menyimpan segalanya untuk diri, karena aku paham kamu
bukanlah sosok yang bisa kuajak berbagi.
Aku pun tak lupa untuk selalu berhati-hati. Segala
gerak-gerik kubatasi, cemas jika nantinya akan menyakiti atau justru
membuat kita kembali bertengkar lagi. Tak hanya itu, aku juga diam-diam
selalu meluangkan waktu untuk berburuk sangka akan dirimu. Cemburu
berlebihan dan pikiran jelek sering datang sebelum sempat kularang.
Perlahan aku berubah menjadi sosok yang kubenci. Gadis pemarah,
pencemburu, dan terlalu menutup diri.
Aku mulai rindu untuk menjadi diriku sendiri. Tidakkah kamu juga begitu?
Kita sudah dewasa dan tentunya sudah saling tahu. Ini semua bukan
perkara siapa yang salah, hanya saja kita memang sudah sama-sama lelah.
Tidak, aku tidak mengarahkan jari telunjukku demi mencari siapa yang
salah atau demi mengubahmu menjadi si kambing hitam. Kita memang sudah
tak sejalan. Begitu banyak hal yang membuat dunia kita sangat berbeda.
Kita memiliki kepribadian dan minat yang sama menariknya. Hanya saja aku
adalah si air, dan kamu adalah si api. Kita tak bisa bersama tanpa ada
salah satu yang musnah atau tersakiti.
Dulu, kita memang pernah memutuskan untuk berhenti, namun selalu saja
ada asa dan mimpi yang dijadikan pegangan. Berharap suatu saat ada yang
bisa berubah demi keutuhan berdua. Namun, bukankah ini merupakan sikap
yang sia-sia? Aku dan kamu dibekali dengan watak sendiri yang sama
istimewanya. Tak seharusnya kita memangkas karakter diri hanya demi bisa
bersama. Aku tak menyalahkanmu karena memiliki karakter, selera, minat,
serta pandangan yang berbeda.
Sungguh, tak ada yang bersalah. Kita hanya benar-benar berbeda dan sudah saling lelah. Akuilah, hubungan kita memang sedang menunggu untuk disudahi.
Terimakasih kita sempat bersua dan merangkai cerita, darimu aku mendapat banyak pelajaran berharga.
Mari
kita sama-sama mengurai ikatan yang selama ini ada. Tidak ada yang
patut disesali. Lamanya hubungan bukanlah faktor utama untuk
bertahan. Kita perlu menghirup udara banyak-banyak serta menelan
kenyataan bahwa kita memang tak bisa melanjutkan hubungan. Terlalu
berlimpahnya rasa sedih dan perih yang tercipta menuntut kita untuk
mundur dan rehat sejenak dari dunia asmara. Namun tentu saja kamu
merupakan sosok yang patut kuberi ucapan terimakasih. Lewat hubungan
yang kita jalani berdua ini, aku belajar melepaskan dan melapangkan dada
demi menerima kenyataan.
Terimakasih sudah pernah ada. Semoga kita sama-sama berbahagia dan mampu mengangkat muka untuk menantang masa depan.




0 komentar:
Posting Komentar