Jika boleh jujur, kaki ini sudah lelah berjalan menjajal tanah yang
berbeda. Jemariku juga mulai jengah digenggam tangan yang tak sama.
Sudah tidak lagi kubutuhkan kencan romantis di malam Minggu, atau
kejutan anniversary berupa bunga di depan pintu.
Sebab kini, masa depan jauh lebih penting dari semua simbol-simbol itu.
Jika memang kau sayang padaku bolehkah kuminta satu hal saja padamu?
Tolong jangan minta aku jadi pacarmu. Sebab wanita yang satu ini
jauh lebih ingin jadi ibu dari anak-anakmu.
Drama tak penting dalam cinta sudah khatam kita alami sebelumnya. Bersamamu, bolehkah kujalani cinta yang lebih dewasa?

Kita sudah sama-sama cukup mapan sebagai manusia. Aku tak bicara soal rumah, mobil, deposito, dan segala turunannya. Sebab kini kutahu pencapaian hidup bukan cuma soal itu saja.
Kau dan aku adalah dua orang manusia yang sudah khatam dengan segala drama cinta. Tak bisa move on
sekian lama, menyalahkan diri sendiri karena kebodohan jatuh cinta pada
orang yang salah, sampai sempat menghentikan langkah karena hati yang
terlalu berdarah.
Tapi kita berdua juga sama-sama pejuang yang berhasil mengalahkan
hati sendiri. Kau bangkit meski kini hatimu tak utuh seperti dulu lagi.
Aku memutuskan berjuang kembali, sebab konyol sekali jika hanya karena
urusan hati aku menyesal sampai mati.
Kita jelas bukan dua orang dengan sejarah manis dalam
urusan perasaan — tapi bukankah justru lewat kesakitan kita banyak
belajar?
Aku bukan lagi gadis kecil yang merengek minta diantar pulang. Kini, lebih kuingin kita berbaring sembari berbagi remang.Buat apa kau antar jemput aku jika pada akhirnya kita harus terpisah di dua kamar berbeda? Padahal, usap dan pendampinganmulah yang membuatku merasa kembali punya daya. Bagimu, bukankah juga berlaku hukum yang sama? Katamu celoteh ceriwisku membuat matamu terjaga, demi merampungkan pekerjaan yang masih terbawa.
Sebab itu, tolong hentikan upayamu mengajakku pulang bersama, atau
menawarkan tumpangan sepulang kerja. Aku bukan lagi gadis remaja yang
bisa luluh hanya karena ada pria yang tampaknya ingin selalu bersama.
Sudah tak lagi ingin kutemukan ada pria yang menanti di depan pintu,
bersabar menunggu dalam penampilan terbaikmu. Aku juga tak lagi
butuh dimanjakan dengan makan di tempat fancy terbaru pun jalan-jalan ke mall di malam Minggu.
Buatku, tak ada yang lebih indah dari bisa pulang ke rumah yang sama.
Mengakhiri hari lelah berdua, saling mengusap bahu dan punggung yang
pegal sebab tegak terlalu lama. Kita akan menggelar kencan mesra di atas
satu bantal yang sama.
Kepalamu merapat ke leherku, sejenak meletakkan beban
yang terlampau berat di situ. Tanganku merengkuh lingkar perutmu,
merelakan diriku jadi tanah liat dalam lentiknya jemarimu.
Ditengah dunia yang makin tak waras dan tanpa batasan, bersama akan kita bangun hidup dalam tudung kewajaran.
Tanpa perlu meminta restu pada orangtua, menyelenggarakan perhelatan yang membuat kita sakit kepala — sebenarnya seluruh fasilitas khas orang dewasa sudah bisa kita rasa.
Sesekali jelas bisa kau bawa aku ke apartemenmu. Kau pun bisa dengan bebas masuk dan bermalam di kondo studioku. Tanpa ada orang yang peduli dan mengomentari ini itu. Dunia memang sudah terlalu gila untuk membiarkan hal-hal di luar kewarasan bergulir tanpa batasan.
Tapi Sayang, biarlah itu jadi masa lalu. Seiring berjalannya waktu bukankah kau dan aku sepakat bahwa kewajaranlah yang memberikan kenyamanan? Selip tangan di balik baju, cium-cium kecil di tempat umum setiap kita mau — tak mampu memberikan ketenangan itu.
Semua yang sudah dilewati dahulu membuka mataku dan matamu: bahwa ini bukan cuma perkara merelakan tubuh dan mendedikasikan waktu. Ada yang lebih besar dari dua hal sepele itu.
Kuharap kamulah yang menggenggam tangan saat perut mulai membesar. Jadi orang pertama yang kubangunkan setiap makhluk kecil itu mulai menendang.
Sungguh, tak terbayang bisa kukatakan permohonan ini sekarang. Gadis yang dulu sangat percaya pada kebebasan justru kini menginginkan menetap di satu perhentian. Tapi memang tak ada skenario yang lebih baik dari ini. Menjalani hari-hari biasa bersamamu, bercinta dengan malas-malasan setiap pulang, lalu saling mengeluarkan unek-unek yang terpendam seharian.
Kuharap, kamulah orangnya. Semoga tawa bahagiamulah yang bergetar di gendang telinga setelah test pack kesekian kita menunjukkan dua garis merah di atasnya. Kuharap pundakmulah yang kutemukan, saat kebahagiaan paripurna sebagai wanita kuluapkan.
Tidak ada orang lain yang lebih kuharapkan menggenggam tangan. Waktu perutku mulai membesar dan badanku tampak tak proporsional. Kuharap kelak kau cukup sabar meyakinkan, bahwa tubuhku tak tampak seperti balon besar berisi gas helium yang siap terbang.
Dalam malam-malam penuh tendangan, tak ada yang lebih ingin kubangunkan. Selain dirimu, pria yang membawaku ikut serta dalam upayanya membangun masa depan. Dia yang dengan bangga kukenalkan sebagai Ayah dari anak-anak yang kelak kulahirkan.
Kuminta kau berhenti bukan karena tak ingin didampingi. Tolong,
biarkan aku masuk dalam hidupmu lewat peran yang lebih penting — nanti.
Maka, kumohon sayang. Berhentilah sekarang. Tak perlu kau hujani aku dengan rayuan. Pun hadiah atau perhatian yang kau anggap bisa menenangkan. Pendampingan dalam status “hanya pacar” tak bisa dibanggakan. Kini, ada yang lebih penting untuk dilakukan.
Kuminta, bersabarlah. Bekerjalah lebih keras mulai sekarang. Bukan cuma soal mengisi tabungan, tapi juga mempersiapkan diri untuk jadi panutan. Sebab kelak, ada nyawa-nyawa baru yang akan menjadikanmu idola nomor wahid dalam kehidupan.
Lepaskan aku sekarang. Ijinkan aku menempuh jalan sendiri untuk berkembang. Kelak, ingin kumasuki kehidupanmu dengan peran yang membuat senyum mengembang.
Oleh anak yang lahir dari benihmu"
"Aku sungguh ingin kau dampingi. Hanya saja dalam ikatan yang lebih pasti, nanti"
0 komentar:
Posting Komentar